Lokasi& Pendiri Mataram Islam. Pada 1584, Panembahan Senapati
Description Source ; Please contact 012-2881669 Pn Wong if there is an infringement Read the Text Version No Text Content! 50tahun, membuktikan telah berhasilnya menciptakan pemerintahan vang stabil, dimana ketentraman dan keamanan penduduk dan perdagangan terpelihara dengan baik. Demikian juga hubungan dengan negara-negara tetangga umumnya terjalin dengan baik, hanya ada satu kali perang saja sewaktu pra-kesultanan pada tahun 1596 dengan Banten vang berlatar belakang pertikaian ekonomi untuk memperebutkan pangkalan perdagangan di selat Malaka. Prestasi politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurrahman vang paling menentukan bagi perkembangan kesultanan 47 Palembang Darussalam, adalah kebijaksanaannya untuk meiepaskan diri dari ikatan perlindungan protektorat Mataram kira-kira pada tahun 1675 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan. Hubungannya dengan Mataram tetap terpelihara dengan baik. Yang mendapat tantangan berat adalah politik dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme Eropa Belanda dan Inggris dengan kelebihan teknologi alat perangnya dan kelicikan politiknya, sehingga banvak mendatangkan kerugian kepada pihak kesultanan, dan akhirnya mengakibatkan hilangnya eksistensi kesultanan itu sendiri. Politik imperialis dan kolonialis ini yang dikenal dengan \"Belanda minta tanah\" dengan taktik tipu muslihatnva devide et impera. D. Peran Ulama di kesultanan Palembang Sejarah penyebran agama Islam di kesultanan ini tak terlepas dari seorang yang lazim dinamakan Kyai atau guru mengaji. Pada periode pemerintahan Kyai Mas Endi Pangeran Ario Kesumo Abdurrahman 1659-1706 terkenal seorang ulama vang bernama Agus Khotib Komad seorang ahli tafsir Al-Qur'an dan Fiqih, Tuan Faqih Jalaluddin mengajarkan ilmu Al-Qur\"an dan Ilmu Ushuluddin seorang ulama terkenal pada periode Sultan Mansur Joyo Ing Lago 1700-1714. Ulama ini masih menjalankan dakwahnya hingga masa pemerintahan Sultan Agung Komaruddin Sri Terung 1714-1724 juga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo 1724-1758 sampai akhir hayatnya pada tahun 1748. Sebulan setelah beliau wafat Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikromo mendirikan masjid untuk wakaf kaum muslimin pada tanggal 25 Juni 1748. Masjid tersebut masih ada hingga sekarang dan dikenal dengan nama Masjid Agung. Pada masa Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adikesumo 1758-1776 lahir di Palembang seorang ulama besar yang bernama Syekh Abdussomad Al-Palembani, beliau aktif mengembangkan agama Islam pada masa Sultan Muhammad Bahauddin 1776-1803. Beliau memiliki reputasi internasional. pernah belajar di Mekkah. dan pad abad ke-18 M . ia kembali ke Palembang dengan membawa mutiara baru dalam Islam. Mutiara tersebut adalah Methode baru untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika ia berada di Mekah sempat hubungan korespondensi dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta. Mangkunegara di Susuhu- nan Prabu Djaka di Surakarta. Surat-surat v ang dikirim kepada penguasa 48 formal tradisional, tidak hanya berisikan soal-soal ilmu agama saja tapi juga hal-hal yang menyangkut politik dalam kaitannva dengan kolonialisme Belanda. Dengan demikian ia telah memberikan inspirasi baru berdasarkan doktrin agama, untuk membangkitkan kembali rasa patriotisme dalam menentang penjajah. Terlepas pada suatu pemikiran apakah beliau termasuk golongan taswnf Al-Ghozali atau Wahdatul wujud yang pernah diajarkan oleh Ibnu Arabi, Beliau telah menerjemahkan kitab karangannya sendiri yang bernama Sair al-Salikin dan Hidayat al-Salikm yang sampai sekarang masih banvak dibaca di negara-negara Asean yang meliputi Philiphina selatan, Brunai, Malaysia, Thailand Selatan, Singapura dan Indonesia. Begitu penting dan terhormatnya kedudukan ulama disamping sultan, sampai-sampai ulama mendapat tempat tersendiri disamping sultan. Dapat pula kita perhatikan posisi makam-makam para sultan Palembang disamp- ingnya terlihat makam ulama-ulama beserta E. Masa Kemunduran Setelah meninggalnya Sultan Baharuddin pada tahun 1804 yang memerintah kurang lebih 27 tahun lalu digantikan oleh putranya Sultan Mahmud Badaruddin. Ia merupakan raja yang terakhir memerintah secara despotis. punya kepribadian yang kuat, berbakat serta terampil dalam diplomasi atau strategi perang. Juga perhatian luas dalam berbagai bidang diantaranya pada bidang sastra. Dengan kemerosotan V O C pada akhir abad ke-18 praktis monopolinya di Palembang tidak dapat dipertahankan lagi dan faktorainya di tempat itu hampir lenyap. Krisis ekonomi dan politik yang dihadapi V O C dan kemudian pemerintah Belanda mempercepat peralihan kekuasaan ke tangan Inggris. Palembang jatuh ke tangan ekspedisi Inggris Gillespie pada tanggal 24 April 1812. Sultan sempat mengungsi ke pedalaman. Pimpinan pertahanan kerajaan ada ditangan Pangeran Adipati Ahmad Najamuddi. seorang saudara sultan yang tidak menunjukkan loyalitasnya kepada kakaknya. bahkan bersedia berunding dengan Inggris pada tanggal 17 Mei 1812 yang menentukan bahwa P A . Ahmad 2Gadjannata Sri- Edi Swasono. A/aiiit dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan hal. 212. 49 Najamuddin menjadi sultan Palembang dengan syarat Palembang harus menyerahkan Bangka dan Belitung kepada Inggris. Sementara itu Sultan Badaruddin membangun pertahanan yang kuat di hulu sungai Musi, bermula di Buaya Langu setelah serangan ekspedisi Inggris gagal terhadap kubu tersebut, maka pertahanan dipindahkan lebih kehulu lagi yaitu di Muara Rawas. Setelah dengan aksi militer Inggris mengalami kegagalan maka ditempuhnya jalan diplomasi dan mengirim Robinsin untuk berunding. Pada tanggal 29 Juni 1812 ditandatangani perjanjian yang menetapkan bahwa sultan Badaruddin diakui sebagai sultan Palembang dan P A . Ahmad Najamuddin diturunkan dari tahtanya. Pada tanggal 15 Juli sultan Badaruddin tiba di Palembang dan bersemayam di keraton besar sedang P A . Ahmad Najamuddin pindah kekeraton lama. Terangnya pemainan politik Inggris semakin mengurangi kekuasaan sultan dan kondisi kontrak lebih diperberat. Waktu Belanda menerima kembali daerah jajahannya dari Inggris, politik langsung membalik situasi seperti yang diciptakan oleh Inggris. Sultan Ahmad Najamuddin adalah penguasa yang lemah sedang sultan Badaruddin menguasai politik. Eksploitasi feodalistis dikalangan keluarga sultan merajalela, banvak perampokan dalam kekosongan kekuasaan didaerah, dan akhir situasi minp dengan anarki. Munünghe selaku kuasa usaha Belanda bertekad menanam kekuasaan yang kuat di Palembang maka untuk tujuan itu disodorkan kontrak dengan kedua tokoh tersebut 20-24 Juni 1818. Meski kesultanan tidak dihapus, namun kekuasaan sultan lambat laun semakin berkurang. Sultan Palembang dan saudaranya untuk kedua kalinya diturunkan dari tahtanya. Keduanya mendapat daerah kekuasaanuntuk diambil hasilnya sebagai sarana penghidupannya, sedang sebagian besar daerah Palembang dikuasai Belanda. Najamuddin yang dibelakangkan oleh intervensi Belanda, berusaha memperoleh bantuan Inggris. Usaha Raffles untuk memberi bantuan vang diharapkan itu gagal, dan akhirnya ia sebagai faktor v ang membahav akan pemerintahan Belanda diamankan di Batavia. Sementara didaerah pedalaman bergolak terus, antara lain karena tercipta vakum politik dan ruang sosial yang leluasa bagi unsur-unsur bawah tanah untuk beragitasi. Orang-orang minangkabau dan Melavn vang menjadi pengikut Sultan Badaruddin sewaktu dia mengungsi ke hulu sungai Musi melakukan perlawanan terhadap expedisi Belanda v ang terpaksa kembali ke Palembang tanpa dapat mengamankan daerah hulu. 50
Hukumyang diterapkan pada masa kerajaan Islam di Nusantara beradaptasi dengan budaya setempat. "Justru hukum adat Nusantara itu yang jauh lebih kejam dari hukum Islam," ungkapnya. Lebih jauh, Ayang mengatakan, hukum Islam hanya diberlakukan untuk politik pencitraan oleh penguasa.
ArticlePDF AvailableAbstractWhat about the development of Islamic criminal law in Nusantara? This question should have been raised for the position of Islamic civil law is widely related to positive law, both as an influencing element or as a modification of religious norms formulated in civil law, even stated in the substantial legal scope of Law 1989 dealing with religious justice. While Islamic law in the field of criminal justice - to mention another term of the Islamic criminal law - has not attracted much attention like the field of Islamic civil law. Apart from that, the available academic studies are often political in nature and broaden the distance between the understanding of positive criminal law and Islamic law in the field of criminal law. From a macro-historical perspective, the plurality of laws is inevitably a historical reality. The Positivism School believes that the development of law is formalized for the sake of the law only. These circles strongly reject political interference in law, law by law, legal science in the form of value-free science while political science especially when associated with social science can be in the form of value-loaded science. According to this group's view, the procedure of finding, forming, and implementing law are in the hand of legal apparatus, the law can only be found through the judge's decision. The legal formation process is limited to legitimator products passed by the law. Law is a command of the law giver. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 67 H i s t o r i a M a d a n i a SEJARAH PERADILAN ISLAM DI NUSANTARA MASA KESULTANAN-KESULTANAN ISLAM PRA-KOLONIAL Ismanto, Suparman Dosen UIN SGD Bandung DPK pada STAI Fatahillah Serpong Email Suparmanjassin75 Abstract What about the development of Islamic criminal law in Nusantara? This question should have been raised for the position of Islamic civil law is widely related to positive law, both as an influencing element or as a modification of religious norms formulated in civil law, even stated in the substantial legal scope of Law 1989 dealing with religious justice. While Islamic law in the field of criminal justice - to mention another term of the Islamic criminal law - has not attracted much attention like the field of Islamic civil law. Apart from that, the available academic studies are often political in nature and broaden the distance between the understanding of positive criminal law and Islamic law in the field of criminal law. From a macro-historical perspective, the plurality of laws is inevitably a historical reality. The Positivism School believes that the development of law is formalized for the sake of the law only. These circles strongly reject political interference in law, law by law, legal science in the form of value-free science while political science especially when associated with social science can be in the form of value-loaded science. According to this group's view, the procedure of finding, forming, and implementing law are in the hand of legal apparatus, the law can only be found through the judge's decision. The legal formation process is limited to legitimator products passed by the law. Law is a command of the law giver. Keywords Islamic Law, Islam Nusantara, Islamic Criminal Law, Legal Formation Process. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 68 H i s t o r i a M a d a n i a Pendahuluan Walaupun merupakan bagian integral syari’ah Islam dan memiliki peran signifikan, kompetensi dasar yang dimiliki hukum Islam, tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri. Sebagian besar kalangan beranggapan, tidak kurang di antaranya kalangan muslim, menancapkan kesan kejam, incompatible dan off to date dalam konsep hukum Islam. Ketakutan ini semakin jelas adanya apabila mereka membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qishas telah off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Hubungan antara praktek hukum Islam dengan agama Islam dapat diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Hukum Islam bersumber dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang dipraktekkan pemeluknya. Oleh sebab itu, untuk membicarakan perkembangan hukum Islam di Indonesia erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan hukum Islam pra-kolonial dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia berkembang seiring dengan sampainya dakwah Islam di Indonesia. Periodisasi Peradilan Islam di Nusantara Masa Awal Sejarah pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada masa penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang harus dikaji berdasarkan sejarah masuknya Islam ke Indonesia pada abad XIII. Penyebaran agama Islam ke Indonesia melalui saudagar Arab dan Gujarat yang pada saat itu membuat kelompok masyarakat yang akhirnya berkembang menjadi Kerajaan Islam. Meskipun sudah ada hukum Islam, akan tetapi secara kelembagaan belum dikenal dengan istilah Pengadilan Agama. Lambat laun proses konkordasi hukum Islam mempengaruhi adat kebiasaan setempat yang pada akhirnya meresipir hukum Islam sebagai Hukum Adat yang sulit dan kompleks untuk dikaji. Untuk menemukan istilah atau nama Pengadilan Agama di Indonesia pada masa Pra-Penjajahan. Pada abad ke-7, penerapan hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu saja melainkan juga diterapkan pada masalah-masalah mu’amalah, munakahat, dan uqubat. Dalam hal penyelesaian masalah muamalah, munakahat, dan uqubat diselesaikan melalui Peradilan Agama. Walaupun secara Yuridis lembaga Peradilan Agama belum ada, tetapi dalam praktiknya telah ada penerapan Peradilan Agama dalam proses penyelesaian perkara-perkara tersebut. Periodisasi peradilan Islam di Indonesia sebelum datangnya pemerintahan kolonial Belanda yang disepakati para ahli terbagi menjadi tiga periode, yaitu Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 69 H i s t o r i a M a d a n i a 1. Periode Tahkim Pada masa awal Islam datang ke Nusantara, komunitas Islam sangat sedikit dan pemeluk Islam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang di pandang ahli untuk menyelesaikannya. Apa pun keputusan yang akan dijatuhkan oleh orang yang ditunjuk itu keduannya harus taat untuk mematuhinya. Cara seperti inilah yang disebut “tahkim”. Bertahkim seperti ini dapat juga dilaksanakan dalam hal lain sengketa, seperti penyerahan pelaksanaan akad nikah dari wanita yang tidak mempunyai wali. 2. Periode Ahl al-Halli wa al-Aqdi Setelah kelompok-kelompok masyarakat Islam terbentuk dan mampu mengatur tata kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan cara mengangkat Ahl al-Hall wa al-Aqd. Yaitu orang-orang yang terpercaya dan luas pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat, selanjutnya Ahl al-Hali wa al-Aqd mengangkat para hakim untuk menyelesaikan segala sengketa yang ada di masyarakat. Penunjukkan ini dilakukan atas dasar musyawarah dan kesepakatan. 3. Periode Tauliyah Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pengangkatan hakim dilaksanakan dengan cara Tauliyah dari Imam, atau pelimpahan wewenang dari Sultan selaku kepala Negara, kepala Negara selaku Waliy al-Amri mempunyai wewenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat tertentu untuk menjadi hakim di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala Negara atau sultan. Bersamaan dan perkembangan masyarakat Islam, ketika kedatangan orang-orang Belanda pada 1605 M, Nusantara sudah terdiri dari sejumlah kerajaan Islam. Pada periode ini kerajaan-kerajaan Islam Nusantara sudah mempunyai pembantu jabatan agama dalam sistem pemerintahannya. Misalnya di tingkat desa ada jabatan agama yang disebut kaum, kayim, modin, dan amil. Di tingkat kecamatan di sebut Penghulu Naib. Di tingkat Kabupaten ada Penghulu Seda dan di tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau qadhi yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian disebut dengan pengadilan Serambi. Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa kesultanan Islam bercorak majemuk. Kemajemukan itu sangat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada dalam Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 70 H i s t o r i a M a d a n i a lingkungan kesultanan masing-masing. Selain itu, terlihat dalam susunan pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan penyelesaian perkara yang diajukan sebelum Islam datang ke Nusantara, di negeri ini telah dijumpai dua macam peradilan, yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Peradilan Pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangkan Peradilan Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja. Pengadilan pradata apabila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum Hindu yang terdapat dalam pepakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sementara Pengadilan Padu berdasarkan pada hukum Nusantara asli yang tidak tertulis. Menurut R. Tresna 1977 17, dengan masuknya agama Islam di Nusantara, maka tata hukum di Nusantara mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga memasukan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukan keberadaannya, tetapi hukum Islam telah merembes di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal itu mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan pengembangan Pengadilan Agama di Islam di Nusantara sebenarnya telah lama hidup di antara masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan/kesultanan Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam. Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan Nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan Islam pertama sekitar abad ke-13 yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah Aceh Utara. Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Cet 4, hal. 113. Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 34. Cik Hasan Bisri, Op. Cit., Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 71 H i s t o r i a M a d a n i a Dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di Jawa antara lain kesulatanan Demak, Mataram, dan Cirebon. Kemudian di daerah Sulawesi dan Maluku yang ada kerajaan Gowa dan kesultanan Ternate serta Tidore. Hukum Islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum Islam di Nusantara. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Nusantara sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada abad ke-16 dan 17-an. Dimana para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagi hukum Negara. Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi Islam Masa Kesultanan-kesultanan Islam Bersamaan dengan perkembangan masyarakat Islam, ketika Nusantara terdiri dari sejumlah kerajaan/ kesultanan Islam maka, dengan penerimaan Islam dalam kerajaan, otomatis para hakim yang melaksanakan keadilan diangkat oleh sultan atau imam. Berikut akan dijelaskan sejarah peradilan pada masing-masing kerajaan/ kesultanan di Kerajaan Samudera Pasai Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13 dan 14 Masehi yang di mulai di kerajaan Samudera Pasai. Penyiaran Islam ini di bawa oleh para pedagang-pedagang dari Hadramaut dan Gujarat India dan sebagian kecil dari orang-orang Persia. Perkembangan Islam pada masa ini lebih dominan di daerah-daerah pesisir pantai yang lebih dekat dengan pelabuhan sedangkan di daerah-daerah pedalaman Islam lebih sedikit karena terbatasnya transportasi pada saat itu. Sejarah Islam mencatat Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini berdiri setelah Rajendra I dari India 1020-1024 tidak berhasil menundukkan daerah itu. Pada saat Raja kehilangan simpati Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, h. 37. Abdul Halim, Op. Cit., hal. 38. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 72 H i s t o r i a M a d a n i a penduduk setempat sehingga menyebabkan kekalahannya. Tercatat Malikus Saleh adalah raja yang menduduki tahta. Raja inilah yang pertama kali sebagai penguasa beragama Islam, dengan kerajaannya yang bernama Samudera Pasai. Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan Islam yang menerapkan hukum pidana Islam. Menurut Hamka, dari Pasailah dikembangkan paham Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia, bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri 1400-1500 M para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keuchik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada ulee balang pengadilan tingkat kedua. Selanjutnya dapat di lakukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Faqih ulama. Pelaksanaan hukum pidana Islam di telah dilaksanakan dikerajaan ini, seperti pelaksanaan hukuman rajam untuk Meurah Pupoek, seorang anak raja yang terbukti melakukan zina. Pelaksanaan hukum Islam pada kerajaan ini tidak mengenal jabatan atau golongan, mulai dari keluarga kerajaan sampai rakyat biasa apabila terbukti melanggar hukum Islam pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Hirarki Peradilan pada di kerajaan Samudera Pasai 2. Peradilan Agama Islam di Kerajaan/ Kesultanan Mataram Kerajaan Islam yang paling penting di Jawa adalah Demak yang kemudian diganti oleh Mataram, Cirebon dan Banten. Di Indonesia timur yang paling penting adalah Goa di Sulawesi Selatan dan Ternate yang pengaruhnya luas hingga kepulauan Filipina, di Sumatra yang paling penting adalah Aceh yang wilayahnya, meliputi wilayah Melayu. Keadaan terpencar MAHKAMAH AGUNG Tingkat Akhir ULEE BALANG Tingkat Kedua Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 73 H i s t o r i a M a d a n i a kerajaan-kerajaan Indonesia dan hubungannya dengan negara-negara tetangga, Malaysia dan Sultan Agung menjadi Sultan Mataram, hukum Islam tidak banyak berpengaruh di kalangan kerajaan. Banyak di antara mereka memeluk agama Hindu. Pada masa Sultan Agung memerintah 1613-1645, hukum Islam hidup dan berpengaruh besar di kerajaan itu. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan berubahnya tata hukum di Mataram, yang mengadili perkara-perkara yang membahayakan keselamatan kerajaan. Istilah pengadilan untuk ini adalah Kisas. Satu istilah yang sebenarnya dalam bahasa aslinya. Kerajaan ini tidak sepenuhnya menerapkan hukum pidana Islam. Hukum pidana hanya diterapkan dalam masalah Bughah pemberontakan. Dengan munculnya Mataram menjadi kesultanan/kerajaan Islam, di bawah pemerintahan Sultan Agung mulai diadakan perubahan dalam sistem peradilan dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran agama Islam dengan cara memasukkan orang-orang Islam ke dalam Peradilan Peradaban. Namun, setelah kondisi masyarakat dipandang siap dan paham dengan kebijakan yang diambil Sultan Agung, maka kemudian paradilan pradata yang ada diubah menjadi Paradilan Surambi dan lembaga ini tidak secara langsung berada dibawah raja, tetapi dipimpin oleh ulama. Ketua pengadilan meskipun pada prinsipnya di tangan sultan, tetapi dalam pelaksanaannya berada di tangan penghulu yang didampingi beberapa orang ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis. Sultan tidak pernah mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat Peradilan Surambi. Meski terjadi perubahan nama dari Pengadilan Pradata menjadi Pengadilan Surambi, namun wewenang kekuasaannya masih tetap seperti peradilan pradata. Ketika Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645, peradilan pradata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama dalam pengadilan dan raja sendiri yang menjadi tampuk kepimpinannya. Namun dalam perkembangan berikutnya pengadilan Surambi masih menunjukkan keberadaannya sampai pada masa penjajahan Belanda, meskipun dengan kewenangan yang terbatas. Menurut Snouck 1973 21 pengadilan tersebut berwenang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan, yaitu perkawinan dan kewarisan. Hierarki Peradilan di Kerajaan/ kesultanan Mataram Cik Hasan Bisri, Op. Cit., hal. 114. RAJA/ SULTAN Tingkat Akhir Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 74 H i s t o r i a M a d a n i a Pengadilan Surambi atau Hukum Dalem Ing Surambi di Yogyakarta diketuai oleh seorang penghulu yang disebut penghulu hakim. Sebagai ketua ia memperoleh gelar dari Sultan Kyai Pengulu. Kemungkinan yang menjadi penghulu pertama di Yogyakarta yang diserahi tanggungjawab masjid adalah Kyai Penghulu Seh melaksanakan tugasnya menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat, penghulu hakim dibantu oleh empat orang anggota disebut pathok nagara atau dalam bahasa halus pathok nagari. Baik penghulu hakim maupun pathok nagara termasuk abdi dalem. Dalam perkembangan selanjutnya susunan keanggotaan ini ditambah adanya beberapa khotib yang bertugas memberi khotbah di beberapa masjid pada hari Jumat. Adapun kitab hukum yang dipakai sebagai acuan di samping Al Quran dan Hadits adalah kitab-kitab fiqih yaitu Kitab Muharrar, Mahali, Tuhpah baca Tuhfah, Patakulmungin Fathulmu’in dan Patakulwahab Fat-hulwahab. Apabila benar demikian, maka tugas penghulu hakim dan anggota-anggotanya yaitu pathok nagara dengan abdi dalem di bidang hukum, keagamaan, di masyarakat sungguh tidak ringan. Sebutan pathok nagara di kalangan Reh Kawedanan Pangulon Karaton Ngayogyakarta semacam Departemen Agama merupakan jabatan abdi dalem di lembaga tersebut, dan tepatnya pembantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi. Istilah tersebut dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata; pathok dan nagara. Dalam kamus Baoesastra Djawa oleh Poerwodarminta,pathok patok artinya yaitu 1 sesuatu benda yang dapat ditancapkan baik berupa kayu, bambu dan lain-lain, dengan maksud untuk batas, tanda, dan sebagainya. 2 bersifat tetap tidak dapat ditawar-tawar lagi, tempat para peronda berkumpul, sawah yang pokok, 3 –an artinya angger-angger, paugeran atau aturan, dasar hukum. Sedangkan nagara berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan. Pathok nagara atau dalam bahasa Jawa halus pathok nagari, secara harafiah dapat berarti batas negara, namun juga dapat berarti aturan yang dianut oleh negara’, dasar hukum negara. Suatu contoh kata angger berkaitan dengan hukum, pada masa itu ada kitab Angger Sepuluh atau Angger Sedasa merupakan undang-undang yang mengatur tentang adminstrasi dan agraria, demikian juga serat angger-angger yang lain. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931, hlm. 105. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen-Batavia, 1939, hal. 479. PRADATA/ PRADU Tingkat Kedua Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 75 H i s t o r i a M a d a n i a Berkaitan dengan lembaga hukum tersebut, pada awal berdirinya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tahun 1755, mempunyai lembaga hukum bernama Pengadilan Surambi Hukum Dalem Ing Surambi yang juga dipunyai oleh Surakarta. Di Yogyakarta lembaga ini diketuai penghulu hakim, dibantu oleh empat orang anggota bernama pathok nagara yang di Surakarta bernama Ngulama. Pada perkembangan selanjutnya, susunan keanggotaan Pengadilan Surambi tersebut kemudian ditambah adanya ketib-ketib baca khotib, sebagai pembantu yang akhirnya menjadi anggota pula sehingga menjadi 10 orang. Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagara merupakan jabataan abdi dalem rendah di suatu lembaga peradilan yang diberikan oleh raja Sultan kepada seseorang yang dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Tidak diketahui secara pasti kenapa sebutan jabatan tersebut demikian. Penulis hanya dapat menduga bahwa hal itu berkaitan dengan keberadaannya di lembaga hukum agama yang berlaku di saat itu. Keberadaannya di masyarakat sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan aturan raja yang memerintah negari keprajan Yogyakarta. Walaupun jabatan rendah, namun abdi dalem pathok nagara mempunyai peranan penting dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka sebagai abdi dalem pathok nagara pembantu penghulu hakim, harus membekali dirinya dengan pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat. Perlu diketahui bahwa pada masa itu masa penjajahan Belanda, sehingga raja perlu membentengi rakyatnya secara jiwani, supaya berkepribadian kuat. Untuk syiar agama Islam ini maka di berbagai daerah di wilayah didirikanlah masjid-masjid yang kemudian disebut masjid kagungan dalem yang berarti masjid milik raja atau sering disebut Masjid Sulthoni. Menurut catatan Kawedanan Pangulon Keraton Yogyakarta 1981, masjid kagungan dalem di Daerah Istimewa Yogyakarta ada 78 buah, baik di dalam kota maupun yang tersebar di daerah-daerah Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo dan Bantul. Dalam arsip kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya, pathok nagara abdi dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta oleh Sultan ditempatkan di Mlangi Kabupaten Sleman barat, Plosokuning Kabupaten Sleman utara, Dongkelan Kabupaten Bantul selatan dan Babadan Yogyakarta timur. Pada masa pendudukan Balatentara Jepang 1942–1945, Babadan ini pernah direncanakan akan dijadikan tempat amunisi untuk keperluan perang Jepang, sehingga banyak penduduk yang pindah ke arah utara, kampung Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 76 H i s t o r i a M a d a n i a Kentungan, demikian juga masjidnya. Akan tetapi rencana tersebut tidak jadi dan penduduk kembali ke Babadan semula, masjidnya pun dibangun lagi. Di tempat-tempat ini pathok nagara yang termasuk abdi dalem Reh Kawedanan Pangulon bertanggung jawab atas kehidupan keagamaan dalam masyarakat dan kemakmuran masjid milik raja’ masjid kagungan dalem yang ditanganinya. Walaupun jumlah masjid kagungan dalem banyak, namun hanya empat masjid itulah yang ditangani oleh pathok nagara. Dalam memakmurkan masjid, ia dibantu oleh khotib, muadzin, merbot, barjama’ah dan ulu-ulu. Tidak ada keterangan-keterangan yang pasti kenapa keempat abdi dalem pathok nagara itu ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Dongkelan dan Babadan. Apabila dilihat dari pusat kerajaan keempat desa itu berada di barat, utara, selatan dan timur. Di pusat kerajaan sendiri ada Masjid Agung sebagai masjid kerajaan yang berdekatan dengan bangunan kraton. Ada kebiasaan orang Jawa, menurut imajinasinya bahwa jumlah 4 empat letaknya di dalam sebuah ruang, masing-masing menempati mata angin utama yang mengelilingi suatu titik pusat. Hal ini juga terungkap dalam susunan lembaga pemerintahan, satu ada di tengah-tengah sebagai kepala ditambah 4 empat berada di sekelilingnya sebagai pembantu utama. Sebagai contohnya pemerintahan pada masa kerajaan Mataram-Islam, apabila raja duduk di singgasana, dihadap para pegawainya abdi dalem duduk membentuk lingkaran-lingkaran kebiasaaan orang Jawa yang suka’ serba empat mengelilingi satu pusat, ada kemiripan dengan letak-letak masjid milik raja yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Bukankah mereka itu abdi yang bertugas membantu penghulu hakim sebagai ketua Pengadilan Surambi. Pertanyaan mengenai jumlah abdi dalem pathok nagara yang membantu penghulu hakim di Pengadilan Surambi hanyalah empat, kemungkinan ada kaitannya dengan konsep konsentris seperti yang ada di kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu. Telah disebutkan bahwa abdi dalem pathok nagara bertanggungjawab terhadap masjid yang ditanganinya. Begitu eratnya antara masjid pathok nagara ini sehingga terucap oleh masyarakat masjid-masjid tadi sebagai masjid pathok nagara. Ucapan tersebut tidaklah salah, karena sebenarnya mengandung maksud masjid kagungan dalem yang menjadi tanggungjawab pathok nagara. Oleh karena itu tidaklah mengherankan di sekitar tempat tersebut sampai kini masih ada pesantren, tempat belajar agama Islam. Setelah kemerdekaan keadaan menjadi berubah. Kerajaan-kerajaan yang semula mempunyai kekuasaan’ walaupun masih juga di bawah kekuasaan penjajah dengan sendirinya masuk ke satu wadah karena telah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kasultanan Yogyakarta juga Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara Terjemahan Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta, 1972, hal. 11-12. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 77 H i s t o r i a M a d a n i a Kadipaten Pakualaman meleburkan daerahnya ke wilayah Republik Indonesia. Walaupun Republik Indonesia baru berdiri namun sebagai negara harus mempunyai dasar negara, Undang-Undang Dasar juga kebijakan-kebijakan lainnya. Peraturan atau undang-undang pemerintah pendudukan sedikit demi sedikit dirubah, termasuk di bidang peradilan. Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia mengeluartkan UU No 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Raja Zelfbestuursrecht-spraak di Jawa dan Sumatera. Di dalamnya menyebutkan bahwa semua pengadilan raja diserahkan kepada pengadilan yang berwenang Republik Indonesia. Dengan demikian sejak diberlakukan UU tersebut maka secara yuridis Pengadilan Surambi telah hapus. Walaupun tidak mempunyai kewenangan di lembaga peradilan, namun penghulu hakim dan pathok nagara secara adat masih tetap sebagai abdi dalem di Reh Kawedanan Pangulon. Di sini kawedanan semacam departemen dan Kawedanan Pangulon mengurusi masalah keagamaan, masalah ukhrawi. Semenjak itu pula tidak ada lagi pengangkatan abdi dalem pathok nagara, namun demikian masjidnya masih ada dan dimanfaatkan sampai sekarang. 3. Peradilan Islam di Kerajaan/ Kesultanan Aceh dan Banjar Di Aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan pengadilan negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan; a Dilaksanakan di tingkat kampung yang dipimpin keucik. Peradilan ini hanya menangani perkara-perkara yang tergolong ringan. Sedangkan perkara-perkara berat diselesaikan oleh Balai Hukum Mukim b Apabila yang berperkara tidak puas dengan keputusan tingkat pertama, dapat mengajukan banding ke tingkat yang ke dua yakni Oeloebalang. c Bila pada tingkat Oeloebalang juga dianggap tidak dapat memenuhi keinginan pencari keadilan, dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat ke tiga yang disebut panglima sagi. d Seandainya keputusan panglima sagi tidak memuaskan masih dapat mengajukan banding kepada sultan yang pelaksanaannya oleh Mahkamah agung yang terdiri anggotanya malikul adil, orang kaya sri paduka tuan, orang kaya raja bandara, dan fakih ulama. Sitem peradilan di Aceh sangat jelas menunjukkan hirarki dan kekuasaan Pengadilan Agama di Kerajaan Banjar Kapan masuknya Islam ke kerajaan Banjar atau Kalimantan Selatan tidak ada yang dapat menetapkan dengan pasti. Namun demikian setidaknya masuk dan berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan dapat terjadi pada abad ke-16. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 78 H i s t o r i a M a d a n i a Pidana murni dilaksanakan di kerajaan ini, hal ini terbukti dengan adanya hukum potong tangan bagi siapa saja yang mencuri dan hukuman rajam bagi siapa saja yang melakukan zina. Kerajaan Banjar tercatat sebagai suatu kerajaan besar yang memeluk Islam. Awal KeIslaman itu mulanya tentu dari seorang ke orang lain, tetapi akhirnya menemukan penyebaran yang mantap adalah ketika masuk Islamnya Sultan Banjar, yang sebelumnya bernama Pangeran Samudera berganti nama menjadi Pangeran Suriansyah. Pangeran Samudera menjanjikan dirinya akan masuk Islam, jika menang berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung, setelah mendapat bantuan dari kerajaan di Jawa. Dengan masuk Islamnya raja, perkembangan selanjutnya tidak begitu sulit, karena ditunjang oleh fasilitas serta kemudahan lainnya yang akhirnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Namun demikian juga seperti sebagian masuknya Islam di Indonesia, yang datangnya lebih belakang dari agama Hindu, maka konsepsi hukum yang dianut di kerajaan Banjar inipun nampaknya juga tidak murni berdasarkan Qur’ân dan As-Sunnah. Di Kalimantan Selatan, Sebelum kehadiran Islam juga subur adat istiadat lama yang sifatnya animisme, ini merupakan tantangan para pendakwah yang tak kenal lelah untuk mengikis setiap hadirnya ajaran yang bertentangan dengan Islam. Kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-qadhi, ialah hakim serta penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugas mereka, terutama adalah menangani masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping menangani masalah-masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana atau dikenal dengan Had. Tercatat dalam sejarah Banjar, diberlakukannya hukum bunuh terhadap orang Islam yang murtad, hukum potong tangan untuk mencuri, dan mendera siapa saja yang kedapatan melakukan zina. Bahkan dalam tatanan hukum kerajaan Banjar telah dikodifikasikan dalam bentuk sederhana, aturan-aturan hukum yang sepenuhnya berorientasi kepada hukum Islam, kodifikasi itu dikenal kemudian dengan Undang-Undang Sultan Adam. Pada akhirnya kedudukan Sultan di Banjar bukan hanya sebagai pemegang kekuasaan dalam kerajaan, tetapi lebih jauh diakui sebagai Ulul Amri kaum muslimin di seluruh kerajaan. Pengadilan Agama di kawasan Banjar pada masa kesultanan misalnya, hal ini bisa kita lihat pada biografi Datu Abulung. Beliau di hukum mati oleh sultan karena menyebarkan ajaran wahdatul wujud. Alasan Sultan Tahmidullah menghukum mati setelah sultan bermusyawarah dengan para ulama dan mereka berkesimpulan bahwa Atas dasar kepentingan keselamatan orang banyak dan tugas seorang pemimpin adalah untuk keselamatan akidah dan kemaslahatan rakyatnya; menolak kerusakan lebih didahulukan dari Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 79 H i s t o r i a M a d a n i a mendatangkan kebaikan dan tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya dipusatkan untuk mendatangkan kebaikan maka sultan memutuskan untuk menghukum mati kita bisa melihat bahwa perkara seperti “penodaaan agama” bisa dihukum mati dan sistem Pengadilan Agama yang berlaku di masyarakat Banjar saat itu diputuskan melalui musyawarah Sultan dan para ulama. Begitu pula masalah ibadah menjadi wewenang Pengadilan Agama. Dalam biografi Datu Sanggul diceritakan bahwa sepeninggal Datu Suban guru beliau, beliau tidak pernah lagi shalat jum’at di Masjid Muning. Hal ini disebabkan karena dengan karomah beliau, beliau bisa shalat jum’at langsung di Masjidil Haram, walaupun shalat selain shalat Jum’at beliau tetap berjamaah di Masjid tersebut. Tapi karena pada masa itu diberlakukan perintah sultan yang menyatakan barang siapa yang tidak melaksanakan shalat fardhu Jum’at berjamaah akan didenda maka beliau harus membayar denda yang telah ditetapkan raja. Selain itu, adanya Undang-Undang Sultan Adam yang terdiri dari 31 pasal yang berisi tentang hukum Islam, hukum acara Peradilan Islam, hukum agraria, hukum fiskal, hukum pidana, hukum perdagangan, dan lain-lain 3 juga menjadi bukti lainnya, karena siapakah yang menyidang seandainya terjadi pelanggaran, tentunya Pengadilan Agama, walaupun sistem yang berlaku di Pengadilan Agama dulu dengan sekarang berbeda, tapi esensinya tetap sama, bahkan Pengadilan Agama pada masa itu mempunyai wewenang yang lebih luas dibandingkan Pengadilan Agama zaman sekarang. 5. Peradilan Agama Islam di Priangan Tak hanya di daerah kekuasan Sultan Agung saja, tetapi di pesisir sebelah utara Jawa, utamanya di Cirebon hukum Islam utamanya yang berhubungan dengan masalah-masalah kekeluargaan amat banyak berpengaruh. Tercatat di Priangan misalnya, adanya Pengadilan-pengadilan Agama yang mengadili perkara yang dewasa ini masuk kepada masalah-masalah subversif. Pengadilan ini merupakan suatu peradilan yang mengambil pedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan oleh penghulu, yang tentu saja adalah pemuka-pemuka agama di kerajaan. Sistem pengadilan di Cirebon dilaksanakan oleh tujuh orang Menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang itu diputuskan menurut Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilullah. Namun demikian, satu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa kedalam Papakem Cirebon itu telah tampak adanya pengaruh hukum Islam. Ahmadi Hasan, Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar, Antasari Press, Banjarmasin, 2009, h. 123. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 80 H i s t o r i a M a d a n i a Di Cirebon atau Priangan terdapat tiga bentuk peradilan; Peradilan Agama, Peradilan Drigama, dan Peradilan Cilaga. Kompetensi Peradilan Agama adalah perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukum mati, yaitu yang menjadi absolut kompetensi peradilan pradata di Mataram. Perkara-perkara tidak lagi dikirim ke Mataram, karena belakangan kekuasaan pemerintah Mataram telah merosot. Kewenangan absolut Peradilan Drigama adalah perkara-perkara perkawinan dan waris. Sedangkan Peradilan Cilaga khusus menangani sengketa perniagaan. Pengadilan ini dikenal dengan pengadilan Peradilan Agama Islam di Banten Sementara itu di Banten pengadilan disusun menurut pengertian Islam. Pada masa sultan Hasanuddin memegang kekuasaan, pengaruh hukum Hindu sudah tidak berbekas lagi. Karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Qodli sebagai hakim tunggal. Lain halnya dengan Cirebon yang pengadilannya dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon kitab hukum yang digunakan adalah pepakem Cirebon, yang merupakan kumpulan macam-macam Hukum Jawa Kuno, memuat Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adidullah. Namun satu hal yang tidak dipungkiri bahwa pepakem Cirebon tanpa adanya pengaruh hukum pertama kali menginjakan kakinya di pelabuhan Banten pada tahun 1596. Bagaimana mulai berjalannya Peradilan Agama di sana dan bagaimana sikap Belanda terhadap Peradilan Agama di daerah ini, kiranya perlu diketahui bagaimana awal masuknya Islam di Banten. Setelah kota Banten, salah satu kota pelabuhan dari kerajaan Pakuan-Pajajaran dapat dikuasai oleh Falatehan, segeralah dibentuk pemerintahan atas nama Sultan Demak. Tak lama kemudian dapat dikuasai pula Sunda Kelapa, juga salah satu kota pelabuhan dari Pakuan-Pajajaran, yang kemudian diberi nama Jayakarta dan dijadikan wilayah dari kesultanan Banten. Cirebon sebagai kota pelabuhan terakhir dari Pakuan-Pajajaran diduduki pula ole Falatehan, selaku abdi dari Sultan Demak dalam rangka penyebaran agama Islam, sehingga Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon menjadi wilayah kekuasaan Demak. Pada tahun 1552 Falatehan pindah ke Cirebon dan terus memerintah daerah ini, sedang pemerintahan di Banten diserahkan kepada putera sulungnya Hasanudin. Pada tahun 1568 Hasanudin menyatakan kesultanan Banten sebagai negara merdeka, bebas dari kekuasaan Demak, dan mulai mengatur pemerintahannya sendiri. Di antaranya menata pelaksanaan Abdul Halim, Op. Cit., hal. 43. Cik Hasan Bisri, Op. Cit., hal. 115. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 81 H i s t o r i a M a d a n i a peradilan di kesultanan tersebut. Orang-orang Banten, sebelum kekuasaan negara direbut oleh Falatehan sudah mulai masuk Islam. Hal itu dipermudah oleh karena syahbandar di Banten dan yang memerintah kota itu atas nama Prabu Siliwangi, sudah lebih dahulu memeluk agama Islam. Orang-orang Banten, sebagai orang yang baru saja memeluk agama Islam amatlah giat dalam menjalankan agamanya dan memegang teguh pada hukum Islam. Meskipun Cirebon didirikan hampir bersamaan dengan kesultanan Banten, akan tetapi lapisan atas dari penduduk Cirebon, yang berasal dari Demak, masih kokoh terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-kuno. Hal tersebut berpengaruh pada perkembangan peradilan di dua kesultanan tersebut. Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam. Pengadilan yang pernah ada dan berjalan berdasar pada hukum Hindu sebagai bentukan dari kerajaan Pakuan-Pajajaran, diwaktu Sultan Hasanudin memegang kekuasaan sudah tidak nampak lagi bekas-bekasnya sedikitpun. Pada abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim tunggal. Kalau pada abad ke-17 kesultanan Banten sudah sempurna menerapkan hukum Islam, maka pada awal abad ke-17 penguasa kerajaan Mataram baru masuk agama Islam. Akan tetapi dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam pada permulaaan abad ke-17 tersebut penyebaran Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia karena wilayah kekuasaan kerajaan Mataram hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia. 7. Peradilan Agama Islam di Sulawesi Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintahan kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja. Di Sulawesi, kerajaan yang mula-mula menerima Islam dengan resmi adalah kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan. Kemudian disusul oleh kerjaan Goa yang merupakan kerajaan terkuat dan mempunyai pengaruh di kalangan masyarakatnya. Sementara itu di beberapa wilayah lain; seperti Kalimantan Selatan dan Timur, dan tempat-tempat lain, para hakim agama di angkat sebagai penguasa setempat. Dengan berbagai ragam pengadilan itu, menunjukan posisinya yang sama, yaitu sebagai salah satu pelaksana kekuasaan raja atau sultan. Di samping itu pada dasarnya batasan wewenang Pengadilan Agama meliputi bidang hukum keluarga, yaitu perkawinan dan kewarisan. Dengan wewenang demikian, proses pertumbuhan dan perkembangan pengadilan pada berbagai kesultanan memiliki keunikan masing-masing. Dan fungsi sultan pada saat itu adalah sebagai pendamai apabila terjadi perselisihan hukum. Abdul Halim, Op. Cit., hal. 45. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 82 H i s t o r i a M a d a n i a Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintah kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja. Melalui kekuasaan politik dalam struktur kerajaan ditempatkan Parewa Syara’ pejabat syari’at yang berkedudukan sama dengan Parewa Adek pejabat adek yang sebelum datangnya Islam telah ada pengadilan tingkat II. Parewa syara’ dipimpin oleh Kali Kadli, yaitu pejabat tertinggi dalam syariat Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan pengadilan tingkat III. Di masing-masing Paleli diangkat pejabat bahwan yang disebut imam serta dibantu oleh seorang khatib dan seorang Bilal Pengadilan tingkat I. Para Kadi dan pejabat urusan ini diberikan gaji yang diambilkan dari zakat harta, sedekah Idul Fitri dan Idul Adha, kenduri kerajaan, penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat pemerintahan raja Gowa XV 1637-1653 ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya raja Gowa sendiri yang menjadi hakim agama Islam. Hirarki Peradilan pada Kerajaan Sulawesi 8. Kerajaan Raja Ali Haji di Riau Sistem peradilan pada kerajaan Riau telah tertata dengan rapi pada masa Raja Ali. Lembaga peradilan mempunyai kelengkapan layaknya sebuah pengadilan di masa sekarang. Peradilan terdiri dari, Mahkamah Kerajaan yang bertugas menyelesaikan sengketa dalam kerajaan dan Mahkamah Kecil yang bertugas menangani setiap permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Untuk masing-masing mahkamah itu diangkat tiga orang Qadhi yang menangani perkara mu’amalah, jinayah dan munakahat. PAREWA SYARA’-PAREWA ADEK Tingkat Kedua KHATIB-BILAL Tingkat Pertama Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 83 H i s t o r i a M a d a n i a Struktur Lembaga Peradilan Kerajaan Raja Ali Haji Dasar Penyelenggaraan Peradilan di Kesultanan Di Mataram, masa kepemimpinan Sultan Agung, seorang Raja yang alim dan menjunjung tinggi agamanya, pengaruh Islam masuk pada tata hukum yang diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata yang diubah menjadi Pengadilan Surambi, karena diadakan di serambi mesjid Agung. Dasar hukum penyelenggaraan peradilan pada masa kesultanan in adalah adanya pendelegasian wewenang dari Sultan kepada Penghulu. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Pengadilan pradata maksudnya perkara-perkara yang diadili oleh Raja dan diadakan di Negaragung, yaitu pusat pemerintahan di Ibukota Negara. Di Banten, masa kepemimpinan Sultan Hasanudin, pada abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi. Pendelegasian wewenang dari Raja kepada Kadhi. Di Cirebon, setelah pangeran Girilaya wafat dan meninggalkan tiga anaknya, sehingga Cirebon dibagi tiga, yang dipimpin oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, Panembahan Cirebon. Meski dibagi tiga, namun dalam permasalahan yang besar, mereka tetap bersama. Kemudian dalam menyelesaikan perkara, diserahkan kepada 7 menteri sehingga menjadikan pendelegasian wewenang dari ketiga sultan kepada 7 menteri tersebut untuk menyelesaikan perkara. Adapun ketujuh menteri ini adalah delegasi diantara Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 84 H i s t o r i a M a d a n i a 3 orang dari Sultan Sepuh, 2 orang dari Sultan Anom, dan 2 orang dari Panembahan Cirebon. Kemudian pada tahun 1688 terjadi perjanjian de hartogh merupakan dasar hukum sehingga mengubah pengadilan 7 menteri yang diganti menjadi pengadilan 7 jaksa. Kedudukan Pengadilan Di Mataram, kedudukan pengadilan yang menjadi wewenang penghulu, tetap menjadi kekuasaan Sultan Agung, karena ditakutkan bertentangan pada hukum adat yang ada. Meski demikian, penyelesaian yang dilakukan Sultan tidak bertentangan dengan keputusan pengadilan surambi. Dan ini memang keputusan yang dikeluarkan oleh penghulu. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Sehingga Pengadilan Pradata tetap ada dalam tangan Raja dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Namun setelah ada papakem Cirebon, ada kedudukan lain, yaitu adanya Pengadilan Penghulu yang sebagian besar wewenang pengadilan karta jaksa menjadi wewenang Penghulu. Di Banten, kedudukan pengadilan yaitu dengan dipimpin oleh kadhi. Dalam putusannya, kadhi menetapkan putusan mengadili seseorang, manun kedudukannya tetap ada dibawah raja. Faktanya yaitu karena setiap adanya putusan dari Kadhi harus tetap disahkan oleh Raja. Di Cirebon, kedudukan 7 menteri ada di bawah tiga Sultan, karena merupaka perwakilan dari ketiga Sultan. Ketujuh menteri ini yang setelah perjanjian de Hartogh itu berubah menjadi tujuh Jaksa, melakukan perbuatan mengadili orang yang berperkara dengan mengeluarkan keputusan yang diambil dari ketujuh jaksa secara bersama-sama yang disebut dengan surat bulat. Susunan Pengadilan Pengadilan surambi ini dipimpin oleh penghulu yang mempunyai beberapa ulama sebagai anggota. Hal ini identik dengan musyawarah. Meski tidak sesuai dengan hukum Islam bahwa figur hakim hanya seorang saja, tetap saja Sultan Agung yang memberi keputusan. Hal ini dilakukan untuk memelihara faham kedaulatan, meski begitu, tetap saja keputusan berdasarkan atau tidak menyimpang dari nasehat putusan Pengadilan Surambi. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Perkara-perkara yang diadili berlaku bagi daerah-daerah bekas Negara-negara yang takluk pada mataram, sehingga Negaragung menjadi pusat pengadilan. Susunannya berubah, karena Pengadilan Pradata telah ada dalam tangan Raja dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Namun setelah ada papakem Cirebon, sehingga terjadi Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 85 H i s t o r i a M a d a n i a pelimpahan kekuasaan dari Pengadilan Jaksa kepada Pengadilan Penghulu. Sehingga Pengadilan Jaksa karta hanya mengadili perkara padu saja. Pengadilan di Banten yang dikepalai oleh Kadhi tidak mempunyai susunan, karena pengadilan dipimpin hanya oleh seorang Kadhi saja. Adapun di Cirebon, susunan pengadilannya yaitu bahwa perwakilan dari ketiga penguasa itu berkedudukan sama. Jadi susunannya yaitu Tujuh Jaksa bersama-sama dalam surat bulat, kemudian apabila belum bisa di putuskan maka dilakukan dengan Sidang para Sultan yang setelah Cirebon menerima perjanjian itu, maka residen Belanda pun ikut hadir dalam sidang para sultan. Kekuasaan Pengadilan Pengadilan di Mataram, yaitu pengadilan surambi yang dipimpin oleh penghulu dan dibantu dengan beberapa alim ulama. Pengadilan ini kebiasaan mengadili perkara-perkara mengenai perkara perkawinan dan kewarisan. Kekuasaan penghulu ialah memberikan keputusan-keputusan yang mempunyai arti suatu nasehat adpis kepada raja didalam mengambil keputusannya. Pada tahun 1645, sultan agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I. Beliau mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Perkara-perkara yang diadili berlaku bagi daerah-daerah bekas Negara-negara yang takluk pada mataram, sehingga Negaragung menjadi pusat pengadilan. Sehingga kekuasaan Raja ialah mengadili perkara dalam Pengadilan Pradata dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Raja adalah sumber hukum dan sumber keadilan,karena Menurut Amangkurat I, tradisi harus tetap dijalankan, karena wajib untuk memelihara tradisi. Adapun daerah yang telah takluk, diberi wewenang dari Raja kepada wakil Pemerintah Pusat untuk menjalankan pengadilan di daerahnya tapi hanya mengenai perkara-perkara Padu, dan sumbernya yaitu kitab-kitab hukum. Namun setelah ada papakem Cirebon, sehingga terjadi pelimpahan kekuasaan dari Pengadilan Jaksa kepada Pengadilan Penghulu. Sehingga Pengadilan Jaksa karta hanya mengadili perkara padu saja. Adapun di Banten, kekuasaan Kadhi yang merupakan kekuasaan pengadilan tunggal, berkuasa mengadili perkara-perkara hingga perkara hukuman mati namun tetap kekuasaannya dibawah raja karena dalam pengesahannya memrlukan pengesahan dari raja. Selain itu di Cirebon, yang pengadilannya dipimpin oleh tujuh menteri tujuh jaksa, mempunyai kekuasaan mengadili perkara-perkara yang merupakan hal-hal yang biasa Tresna, 1978 25. Adapun kekuasaan mengadili perkara tertentu yang menghasilkan keputusan bersama-sama dengan surat bulat. Adapun apabila salah satu tidak sepakat, maka pengadilan dialihkan kepada sidang para sultan. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 86 H i s t o r i a M a d a n i a Hukum Substantif Hukum materiil yang digunakan di pengadilan mataram ialah kitab-kitab fiqh yang bermadzhab syafi’ karena Islam masuk pertama kali bermadzhab Syafi’i. Pada tahun 1645, kekuasaan beralih kepada Amangkurat I yang mengubah Pengadilan seperti dahulu kembali. Sehingga kekuasaan Raja ialah mengadili perkara dalam Pengadilan Pradata dan tidak terikat oleh kitab-kitab hukum manapun. Raja adalah sumber hukum dan sumber keadilan, karena menurut Amangkurat I, wajib memelihara tradisi. Adapun daerah yang telah takluk, diberi wewenang dari Raja kepada wakil Pemerintah Pusat untuk menjalankan pengadilan di daerahnya tapi hanya mengenai perkara-perkaraPadu, dan sumbernya yaitu kitab-kitab hukum. Banten juga memakai hukum materiil yang sama dari Islamnya, adapun tetap terdapat hukum hindu yang merupakan adat dari zaman dahulu. Hukum hindu itu ialah hukuman mati yang dijatuhi oleh Kadhi. Adapun di Cirebon, kitab hukum yang digunakan yaitu Papakem Cirebon yang didalamnya terdiri dari macam-macam ketentuan dari hukum Jawa-kuno. Diambi dari beberapa kitab, diantaranya Kitab huum Raja Niscaya, undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilulah, juga disebut Surya Alam. Hukum acara pada kesultanan Mataram belum ada hukum yang mengatur tentang acara pengadilan. Adapaun di Banten pula, seperti itu. Adapun selain kedua kesultanan ini, Kesultanan Cirebon yang di dalam segala perkaranya, yang menjadi acara sidang menteri itu diputuskan menurut “undang-undang jawa”. Penutup Sebuah peradilan yang merupakan alat kelengkapan bagi umat Islam dalam melaksanakan Hukum Islam, Peradilan Agama Islam dikhususkan bagi masyarakat yang beragama Islam di Indonesia, sebagai alat kelengkapan pelaksanaan Hukum Islam itu sendiri. Maka Peradilan Agama ini tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara yang kemudian disambut dengan senang dan baik oleh masyarakat penduduk Indonesia. Walaupun disadari sepenuhnya bahwa Peradilan Agama khususnya dan Ilmu Pengetahuan Hukum Islam pada umumnya belum pernah berkembang secara menyolok di Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara yang lainnya terutama sekali yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun demikian konsepsi-konsepsi Hukum Islam telah menyumbangkan suatu potensi pemikiran yang sangat baik bagi perkembangan dan pembinaan Hukum Islam. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 87 H i s t o r i a M a d a n i a Daftar Pustaka Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Ahmadi Hasan, Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar, Antasari Press, Banjarmasin, 2009. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, 1931. Robert Heine Gelderen, Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara Terjemahan Deliar Noer, CV. Rajawali, Jakarta, 1972. Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen-Batavia, 1939. Sejarah Peradilan Islam……. Ismanto dan Suparman 88 H i s t o r i a M a d a n i a ... Keterbukaan masyarakat dalam menerima hukum Islam kemudian berlanjut dengan diterimanya Hukum Islam di lingkungan kerajaan Ismanto & Suparman, 2019. Tumbuh dan berkembangnya Hukum Islam di lingkuran kerajaan dibuktikan dengan diterapkannya hukum Islam dalam sistem hukum kerajaan secara berangsur-angsur Hamka, 1961. ...Ashabul FadhliRahmiati RahmiatiFathur RahmiJelang RamadhanThis study aims to find out the dialectic of formulating the age limit for marriage which took place from the pre-independence period until the issuance of Supreme Court Regulation Number 5 of 2019 concerning Guidelines for Adjudicating Applications for Marriage Dispensation. The demand to determine the age limit was first voiced by the women's movement explicitly during the colonial period due to the large number of daughters being married off. Child marriage has been detrimental and has a bad impact on the lives of girls. This research is a normative legal research that uses a statutory approach, a conceptual approach and a historical historical approach. The results of this study prove that the formulation of the politically negotiated age limit after the independence period did not receive special attention by the Government. Interests in other matters concerning the approval of the Marriage Law are generally more important. The issue of the age limit has received a lot of criticism after Article 7 of Law No. 1/1974 on marriage was judged to be casuistic in terms of legal material and judicial practice. With the promulgation of PERMA Number 5 of 2019 it becomes the determinant of the legal vacuum regarding the application of the age limit rule and the process of adjudicating marriage dispensation cases by judges in the Religious Courts. Faizal ArifinNadia Nuraini HasniElla NurlailasariThe Dutch Colonial Government formed a colonial legal system aimed at strengthening power in the Dutch East Indies. Haatzaai Artikelen is one of the products of colonial law used to sanction anyone who criticizes Dutch rule. The study of Haatzaai Artikelen is interesting because colonial legal instruments impose injustice through criminal offense with accusations of utterance or expressions of hostility, hatred, and contempt for Dutch political interests. This Research uses the historical method with this legal approach aims to analyze the implementation of Haatzaai Artikelen and its impact on the struggle against colonialism. The results showed that the Dutch colonial government interpreted Haatzaai Artikelen according to their political interests. Also, the Dutch Colonial Government and its judicial system systematically used the Haatzaai Artikelen as a rubber article to arrest Indonesian activists, silence, and imprison them. The implementation and demands of the Haatzaai Artikelen offense have implications for the rise of resistance against Dutch colonialism and exploitation, and on the other hand, have weakened the struggles of several figures so that the application of this punishment affects the dynamics of the Indonesian national Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo PersadaAbdul HalimAbdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo PersadaM S Cik Hasan BisriCik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Uit Adatrechbundel XXXV, serie DP RouffaerVorstenlandenP. Rouffaer. Vorstenlanden. Overdruk Uit Adatrechbundel XXXV, serie D, S PoerwodarmintaJ B Baoesastra Poerwodarminta. Baoesastra Djawa. Wolters, Uitgevers Maatschappij NV, Groningen-Batavia, 1939.
Periodedalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima periode, era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3 WilayahKekuasaan. Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayah Mempawah BABI. NUSANTARA PRA EMPORIUM. A. Ekonomi prasejarah. Sejarah nusantara sangat erat kaitannya dengan masa prasejarah di Indonesia atau nusaantara di terangkan bahwa berburu dan mengumpulkan makanan dan gerak penghidupan yang menjadi pokok dari tingkat perkembangan budaya pertama pada pelestarian itu masa prasejarah Indonesia yang berakhir pada Banyakkapal-kapal dagang muslim yang datang dan singgah di Nusantara. Adanya interaksi antar pedagang dari penjuru dunia dengan intensitas tinggi, memunculkan beragam teori mengenai proses masuknya Islam ke Nusantara. Baca juga: Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama di Nusantara. Teori-teori mengenai proses masuknya Islam ke Indonesia
Munculnyaberbagai kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang tersebar di nusantara menjadi pertanda awal terjadinya perubahan sistem pemerintahan dan budaya di Indonesia. Keterlibatan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia juga turut berperan dalam tersebarnya agama Islam hingga ke seluruh penjuru tanah air.
MGR6RQN.
  • t6oft2y307.pages.dev/105
  • t6oft2y307.pages.dev/259
  • t6oft2y307.pages.dev/220
  • t6oft2y307.pages.dev/284
  • t6oft2y307.pages.dev/256
  • t6oft2y307.pages.dev/348
  • t6oft2y307.pages.dev/336
  • t6oft2y307.pages.dev/273
  • t6oft2y307.pages.dev/323
  • terangkan mengenai konsep kekuasaan di kerajaan islam nusantara